Sunday 28 February 2010

Manasik Haji Panyabungan Selatan













Pembukaan Manasik Haji di Panyabungan Selatan



Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Sumatera Utara yang dalam hal ini diwakili Kepala Bagian Tata Usaha Drs. H. Idrus Hasibuan, M. AP membuka pelatihan Manasik Haji di Kecamatan Panyabungan Selatan pada hari Kamis tanggal 25 Februari 2010 di SD Negeri 142581 Kayu Laut. Hadir juga dalam acara itu Kepala Kantor Kementerian Agama Kab. Mandailing Natal, Drs. Muksin Batubara, M. Pd, Kasi Penyelenggara Haji dan Umroh Drs. H. Zulyaden, Kepala KUA Kec. Panyabungan H. Ahmad Zainul Khobir, S. Ag, Ketua MUI Kec. Panyabungan Selatan H. Amir Husin dan Kepala KUA Kec. Panyabungan Selatan Fahrur Rozi, SH sebagai ketua panitia pelaksana.
Dalam laporannya Fahrur Rozi, SH mengatakan jumlah Jama’ah Calon Haji dari Kecamatan Panyabungan tahun ini lebih banyak dibanding dengan Calon Jamaah dari tahun lalu yakni 30 Jama’ah termasuk 3 Jama’ah cadangan. Umur Jama’ah yang termuda adalah 40 tahun dan tertua berumur 73 tahun.
Sementara itu, Drs. Muksin Batubara dalam sambutannya menjelaskan bahwa Jama’ah Mandailing Natal yang sudah masuk dalam daftar tunggu adalah sebanyak + 2.400 Orang, jadi diperkirakan bagi kuota untuk tahun 2014 sudah hampir habis. Beliau juga menerangkan bahwa jama’ah yang masuk daftar tunggu untuk seluruh Indonesia per 31 Desember 2009 adalah 916.000 orang. Jadi mereka yang berangkat tahun ini sangat beruntung bila dibanding dengan yang mereka belum bisa berangkat, maka dari itu hendaklah bersungguh-sungguh dalam mengikuti manasik ini agar dapat menjalankan ibadah haji dengan baik dan benar.
Drs. H. Idrus Hasibuan, M.Pd dalam arahannya lebih menekankan kepada para Jama’ah Calon Haji agar memasang niat dengan benar, yaitu untuk beribadah kepada Allah. Kita ke Makkah adalah sebagai tamu Allah, maka lihatlah diri masing-masing, sudah pantaskah kita menjadi tamu Allah?, jangan terlalu berharap pertolongan orang karena lebih baik kita menolong orang dari pada ditolong orang. Kita harus bisa menahan diri dari segala perbuatan yang dapat mengurangi pahala ibadah kita. Jangan sibuk dengan oleh-oleh, sibuk dengan menggunjing orang dan lain sebagainya. Maka dari itu haruslah lebih di mengerti mana rukun haji, wajib haji dan sunnah haji agar ibadah yang akan dilaksanakan ini lebih berarti, kata beliau.

Wednesday 17 February 2010

Pembukaan Manasik


Kepala Kantor Kementerian Agama Kab. Mandailing Natal Drs. Muksin Batubara, M. Pd membuka kegiatan Manasik Calon Jamaah Haji Kecamatan Panyabungan pada hari Rabu tanggal 17 Februari 2010 bertempat di SD 4 Panyabungan. Kepala KUA Kec. Panyabungan, H. Ahmad Zainul Khobir, S. Ag sebagai pelaksana kegiatan ini dalam laporannya mengatakan Jumlah jamaah Calon haji yang ikut dalam manasik ini berjumlah 171 orang; terdiri dari 149 jamaah berasal dari Kecamatan Panyabungan, 9 Jamaah dari Kecamatan Panyabungan Timur dan 13 Jamaah dari Kecamatan Panyabungan Barat. Karena keterbatasan tempat, maka manasik ini dibagi menjadi 2 (dua) pertemuan setiap minggunya. Hari Senin untuk jamaah yang berasal dari kota Panyabungan dan hari Rabu untuk jamaah yang berasal dari sekitar kota panyabungan termasuk jamaah yang berasal dari Kecamatan Panyabungan Barat dan Timur. Hadir juga dalam kegiatan ini Kasi Penyelenggara Haji dan Umroh Drs. H. Zulyaden, Kasi Mapenda Drs. Abdul Saman Nst. SH, Kepala KUA Kec. Panyabungan Barat Sogopan Siregar, S. Ag, Kepala KUA Kec. Panyabungan Timur Sukhri, A. Ma dan Ketua Majelis Ulama Indonesia Kab. Mandailing Natal Ust. Mahmuddin Pasaribu.

Dalam bimbingan dan arahannya, Kepala Kantor Kementrian Agama Kab. Madina banyak menjelaskan tentang kebijakan-kebijakan pemerintah tentang penyelenggaraan ibadah haji. Pemerintah akan berusaha agar pemondokan Jamaah Haji Indonesia tahun 2010 ini tidak terlalu jauh dari Masjidil Haram. Kalau di tahun-tahun sebelumnya jarak pemondokan Jamaah Haji Indonesia dengan Masjidil Haram 12 Km – 7 Km, maka di tahun ini Pemerintah mengupayakan agar jarak tersebut maksimal 4 Km.


Mengenai seragam Jamaah, yang selama ini berwarna biru telur bebek, Kepala kantor mengatakan agar para jamaah jangan membeli seragam itu terlebih dahulu sebelum ada anjuran, beliau mengatakan ada rencana pemerintah merubah pakaian seragam Jamaah Haji Indonesi dari warna biru telur bebek menjadi bercorak batik yang menjadi ciri khas Bangsa Indonesia.
Juga mengenai perubahan jumlah setoran awal pendaftaran jamaah haji, dimana sebelumnya jumlah setoran awal adalah Rp. 20.000.000,- menjadi Rp. 25.000.000,- akan diberlakukan mulai bulan Maret 2010 ini.

Selanjutkan Drs. Muksin mengharapkan kepada para Jamaah Calon Haji agar secara tekun dan sungguh-sungguh mengikuti manasik ini agar ibadah yang dijalankan nanti benar-benar difahami dan dimengerti demi menuju haji yang mabrur.
Kantor Urusan Agama Kec. Panyabungan melaksanakan Manasik haji ini sebanyak 26 kali pertemuan dengan 3 kali praktek, lebih banyak dari yang dianjurkan pemerintah yaitu 10 kali pertemuan. Hal ini menurut Kepala KUA Kec. Panyabungan agar para jamaah lebih memahami, hafal dan mengerti tentang ibadah haji ini.

Sementara itu, Ust. Mahmuddin Pasaribu dalam ceramahnya membacakan sebuah hadits Rasulullah yang artinya “Apabila seseorang telah melaksanakan haji sekali, maka ia telah melaksanakan kewajibannya. Apabila ia melaksanakan ibadah haji dua kali, maka ia telah membuat Tuhannya berhutang kepadanya. Dan apabila ia melaksanakan haji tiga kali, maka Allah mengharamkan rambut dah kulitnya dari api neraka”. Kepada para jamaah beliau juga berpesan agar segera bertaubat kepada Allah Swt. Karena bagi orang yang akan berangkat menunaikan ibadah haji, maka hendaklah ia segela bertaubat dari segala macam maksiat, membayar hutang, meminta maaf dan lebih mendekatkan diri kepada Allah swt.

by. Mr. Raaj Pahlevi

Saturday 6 February 2010

Friday 5 February 2010

HIKMAH DAN HUKUM NIKAH

HIKMAH DAN HUKUM NIKAH
Oleh: Abu Hamzah Ibnu Qomari

Hikmah Syariat Nikah
1. Nikah adalah salah satu sunnah (ajaran) yang sangat dianjurkan oleh Rasul Shalallahu ‘Alaihi Wassalam dalam sabdanya:

“Wahai para pemuda, siapa di antara kalian yang mampu menikah (jima’ dan biayanya) maka nikahlah, karena ia lebih dapat membuatmu menahan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa tidak mampu menikah maka berpuasalah, karena hal itu baginya adalah pelemah syahwat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
2. Nikah adalah satu upaya untuk menyempurnakan iman. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:

“Barangsiapa memberi karena Allah, menahan kerena Allah, mencintai karena Allah, membenci karena Allah, dan menikahkan karena Allah maka ia telah menyempurnakan iman.” (HR. Hakim,dia berkata: Shahih sesuai dg syarat Bukhari Muslim. Disepakati oleh adz Dzahabi)




“Barangsiapa menikah maka ia telah menyempurnakan separuh iman, hendaklah ia menyempurnakan sisanya.” (HR. ath Thabrani, dihasankan oleh Al Albani)
Kisah:
Al Ghazali bercerita tentang sebagian ulama, katanya:”Di awal keinginan saya (meniti jalan akhirat), saya dikalahkan oleh syahwat yang amat berat, maka saya banyak menjerit kepada Allah. Sayapun bermimpi dilihat oleh seseorang, dia berkata kepada saya:”Kamu ingin agar syahwat yang kamu rasakan itu hilang dan (boleh) aku menebas lehermu? Saya jawab:”Ya”. Maka dia berkata:”Panjangkan (julurkan) lehermu.” Sayapun memanjangkannya. Kemudian ia menghunus pedang dari cahaya lalu memukulkan ke leherku. Di pagi hari aku sudah tidak merasakan adanya syahwat, maka aku tinggal selama satu tahun terbebas dari penyakit syahwat. Kemduian hal itu datang lagi dan sangat hebat, maka saya melihat seseorang berbicara pasa saya antara dada saya dan samping saya, dia berkata:”Celaka kamu! Berapa banyak kamu meminta kepada Allah untuk menghilangkan darimu sesuatu yang Allah tidak suka menghilangkannya! Nikahlah!” Maka sayapun menikah dan hilanglah godaan itu dariku. Akhirnya saya mendapatkan keturunan.” (Faidhul Qadir VI/103 no.8591)
3. Nikah adalah satu benteng untuk menjaga masyarakat dari kerusakan, dekadensi moral dan asusila. Maka mempermudah pernikahan syar’i adalah solusi dari semu itu. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:

“Jika datang kepadamu orang yang kamu relakan akhlak dan agamanya maka nikahkanlah, jika tidak kamu lakukan maka pasti ada fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (HR. Hakim, hadits shahih)
4. Pernikahan adalah lingkungan baik yang mengantarkan kepada eratnya hubungan keluarga, dan saling menukar kasih sayang di tengah masyarakat. Menikah dalam Islam bukan hanya menikahnya dua insan, melainkan dua keluarga besar.
5. Pernikahan adalah sebaik-baik cara untuk mendapatkan anak, memperbanyak keturunan dengan nasab yang terjaga, sebagaimana yang Allah pilihkan untuk para kekasih-Nya:

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan.” (QS. ar Ra’d:38
6. Pernikahan adalah cara terbaik untuk melampiaskan naluri seksual dan memuaskan syahwat dengan penuh ketenangan.
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:

“Sesungguhnya wanita itu menghadap dalam rupa setan (menggoda) dan membelakangi dalam rupa setan, maka apabila salah seorang kamu melihat seorang wanita yang menakjubkannya hendaklah mendatangi isterinya, sesungguhnya hal itu dapat menghilangkan syahwat yang ada dalam dirinya.” (HR. Muslim, Abu Dawud dan Tirmidzi)
7. Pernikahan memenuhi naluri kebapakan dan keibuan, yang akan berkembang dengan adanya anak.
8. Dalam pernikahan ada ketenangan, kedamaian, kebersihan, kesehatan, kesucian dan kebahagiaan, yang diidamkan oleh setiap insan.
Hukum Nikah
Para ulama menyebutkan bahwa nikah diperintahkan karena dapat mewujudkan maslahat; memelihara diri, kehormatan, mendapatkan pahala dan lain-lain. Oleh karena itu, apabila pernikahan justru membawa madharat maka nikahpun dilarang. Dari sini maka hukum nikah dapat dapat dibagi menjadi lima:
1. Disunnahkan bagi orang yang memiliki syahwat (keinginan kepada wanita) tetapi tidak khawatir berzina atau terjatuh dalam hal yang haram jika tidak menikah, sementara dia mampu untuk menikah.
Karena Allah telah memerintahkan dan Rasulpun telah mengajarkannya. Bahkan di dalam nkah itu ada banyak kebaikan, berkah dan manfaat yangb tidak mungkin diperoleh tanpa nikah, sampai Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:

“Dalam kemaluanmu ada sedekah.” Mereka bertanya:”Ya Rasulullah , apakah salah seorang kami melampiaskan syahwatnya lalu di dalamnya ada pahala?” Beliau bersabda:”Bagaimana menurut kalian, jika ia meletakkannya pada yang haram apakah ia menanggung dosa? Begitu pula jika ia meletakkannya pada yang halal maka ia mendapatkan pahala.” (HR. Muslim, Ibnu Hibban)
Juga sunnah bagi orang yang mampu yang tidak takut zina dan tidak begitu membutuhkan kepada wanita tetapi menginginkan keturunan. Juga sunnah jika niatnya ingin menolong wanita atau ingin beribadah dengan infaqnya.
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:
“Kamu tidak menafkahkan satu nafkah karena ingin wajah Allah melainkan Allah pasti memberinya pahala, hingga suapan yang kamu letakkan di mulut isterimu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
“Dinar yang kamu nafkahkan di jalan Allah, dinar yang kamu nafkahkan untuk budak, dinar yang kamu sedekahkan pada orang miskin, dinar yang kamu nafkahkan pada isterimu maka yang terbesar pahalanya adalah yang kamu nafkahkan pada isterumu.” (HR. Muslim)
2. Wajib bagi yang mampu nikah dan khawatir zina atau maksiat jika tidak menikah. Sebab menghindari yang haram adalah wajib, jika yang haram tidak dapat dihindari kecuali dengan nikah maka nikah adalah wajib (QS. al Hujurat:6). Ini bagi kaum laki-laki, adapun bagi perempuan maka ia wajib nikah jika tidak dapat membiayai hidupnya (dan anak-anaknya) dan menjadi incaran orang-orang yang rusak, sedangkan kehormatan dan perlindungannya hanya ada pada nikah, maka nikah baginya adalah wajib.
3. Mubah bagi yang mampu dan aman dari fitnah, tetapi tidak membutuhkannya atau tidak memiliki syahwat sama sekali seperti orang yang impotent atau lanjut usia, atau yang tidak mampu menafkahi, sedangkan wanitanya rela dengan syarat wanita tersebut harus rasyidah (berakal).
Juga mubah bagi yang mampu menikah dengan tujuan hanya sekedar untuk memenuhi hajatnya atau bersenang-senang, tanpa ada niat ingin keturunan atau melindungi diri dari yang haram.
4. Haram nikah bagi orang yang tidak mampu menikah (nafkah lahir batin) dan ia tidak takut terjatuh dalam zina atau maksiat lainnya, atau jika yakin bahwa dengan menikah ia akan jatuh dalam hal-hal yang diharamkan. Juga haram nikah di darul harb (wilayah tempur) tanpa adanya faktor darurat, jika ia menjadi tawanan maka tidak diperbolehkan nikah sama sekali.
Haram berpoligami bagi yang menyangka dirinya tidak bisa adil sedangkan isteri pertama telah mencukupinya.
5. Makruh menikah jika tidak mampu karena dapat menzhalimi isteri, atau tidak minat terhadap wanita dan tidak mengharapkan keturunan.. Juga makruh jika nikah dapat menghalangi dari ibadah-ibadah sunnah yang lebih baik. Makruh berpoligami jika dikhawatirkan akan kehilangan maslahat yang lebih besar.


Sumber: http://abuzubair.wordpress.com/2007/09/01/hikmah-dan-hukum-nikah/

Pernikahan

HIKMAH DAN HUKUM NIKAH

Oleh: Abu Hamzah Ibnu Qomari

Hikmah Syariat Nikah

1. Nikah adalah salah satu sunnah (ajaran) yang sangat dianjurkan oleh Rasul Shalallahu 'Alaihi Wassalam dalam sabdanya:


"Wahai para pemuda, siapa di antara kalian yang mampu menikah (jima' dan biayanya) maka nikahlah, karena ia lebih dapat membuatmu menahan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa tidak mampu menikah maka berpuasalah, karena hal itu baginya adalah pelemah syahwat." (HR. Bukhari dan Muslim)

2. Nikah adalah satu upaya untuk menyempurnakan iman. Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam bersabda:


"Barangsiapa memberi karena Allah, menahan kerena Allah, mencintai karena Allah, membenci karena Allah, dan menikahkan karena Allah maka ia telah menyempurnakan iman." (HR. Hakim,dia berkata: Shahih sesuai dg syarat Bukhari Muslim. Disepakati oleh adz Dzahabi)


"Barangsiapa menikah maka ia telah menyempurnakan separuh iman, hendaklah ia menyempurnakan sisanya." (HR. ath Thabrani, dihasankan oleh Al Albani)

Kisah:

Al Ghazali bercerita tentang sebagian ulama, katanya:"Di awal keinginan saya (meniti jalan akhirat), saya dikalahkan oleh syahwat yang amat berat, maka saya banyak menjerit kepada Allah. Sayapun bermimpi dilihat oleh seseorang, dia berkata kepada saya:"Kamu ingin agar syahwat yang kamu rasakan itu hilang dan (boleh) aku menebas lehermu? Saya jawab:"Ya". Maka dia berkata:"Panjangkan (julurkan) lehermu." Sayapun memanjangkannya. Kemudian ia menghunus pedang dari cahaya lalu memukulkan ke leherku. Di pagi hari aku sudah tidak merasakan adanya syahwat, maka aku tinggal selama satu tahun terbebas dari penyakit syahwat. Kemduian hal itu datang lagi dan sangat hebat, maka saya melihat seseorang berbicara pasa saya antara dada saya dan samping saya, dia berkata:"Celaka kamu! Berapa banyak kamu meminta kepada Allah untuk menghilangkan darimu sesuatu yang Allah tidak suka menghilangkannya! Nikahlah!" Maka sayapun menikah dan hilanglah godaan itu dariku. Akhirnya saya mendapatkan keturunan." (Faidhul Qadir VI/103 no.8591)

3. Nikah adalah satu benteng untuk menjaga masyarakat dari kerusakan, dekadensi moral dan asusila. Maka mempermudah pernikahan syar'i adalah solusi dari semu itu. Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam bersabda:


"Jika datang kepadamu orang yang kamu relakan akhlak dan agamanya maka nikahkanlah, jika tidak kamu lakukan maka pasti ada fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar." (HR. Hakim, hadits shahih)

4. Pernikahan adalah lingkungan baik yang mengantarkan kepada eratnya hubungan keluarga, dan saling menukar kasih sayang di tengah masyarakat. Menikah dalam Islam bukan hanya menikahnya dua insan, melainkan dua keluarga besar.

5. Pernikahan adalah sebaik-baik cara untuk mendapatkan anak, memperbanyak keturunan dengan nasab yang terjaga, sebagaimana yang Allah pilihkan untuk para kekasih-Nya:


"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan." (QS. ar Ra'd:38

6. Pernikahan adalah cara terbaik untuk melampiaskan naluri seksual dan memuaskan syahwat dengan penuh ketenangan.

Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam bersabda:


"Sesungguhnya wanita itu menghadap dalam rupa setan (menggoda) dan membelakangi dalam rupa setan, maka apabila salah seorang kamu melihat seorang wanita yang menakjubkannya hendaklah mendatangi isterinya, sesungguhnya hal itu dapat menghilangkan syahwat yang ada dalam dirinya." (HR. Muslim, Abu Dawud dan Tirmidzi)

7. Pernikahan memenuhi naluri kebapakan dan keibuan, yang akan berkembang dengan adanya anak.

8. Dalam pernikahan ada ketenangan, kedamaian, kebersihan, kesehatan, kesucian dan kebahagiaan, yang diidamkan oleh setiap insan.

Hukum Nikah

Para ulama menyebutkan bahwa nikah diperintahkan karena dapat mewujudkan maslahat; memelihara diri, kehormatan, mendapatkan pahala dan lain-lain. Oleh karena itu, apabila pernikahan justru membawa madharat maka nikahpun dilarang. Dari sini maka hukum nikah dapat dapat dibagi menjadi lima:

1. Disunnahkan bagi orang yang memiliki syahwat (keinginan kepada wanita) tetapi tidak khawatir berzina atau terjatuh dalam hal yang haram jika tidak menikah, sementara dia mampu untuk menikah.

Karena Allah telah memerintahkan dan Rasulpun telah mengajarkannya. Bahkan di dalam nkah itu ada banyak kebaikan, berkah dan manfaat yangb tidak mungkin diperoleh tanpa nikah, sampai Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam bersabda:


"Dalam kemaluanmu ada sedekah." Mereka bertanya:"Ya Rasulullah , apakah salah seorang kami melampiaskan syahwatnya lalu di dalamnya ada pahala?" Beliau bersabda:"Bagaimana menurut kalian, jika ia meletakkannya pada yang haram apakah ia menanggung dosa? Begitu pula jika ia meletakkannya pada yang halal maka ia mendapatkan pahala." (HR. Muslim, Ibnu Hibban)

Juga sunnah bagi orang yang mampu yang tidak takut zina dan tidak begitu membutuhkan kepada wanita tetapi menginginkan keturunan. Juga sunnah jika niatnya ingin menolong wanita atau ingin beribadah dengan infaqnya.

Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam bersabda:

"Kamu tidak menafkahkan satu nafkah karena ingin wajah Allah melainkan Allah pasti memberinya pahala, hingga suapan yang kamu letakkan di mulut isterimu." (HR. Bukhari dan Muslim)

"Dinar yang kamu nafkahkan di jalan Allah, dinar yang kamu nafkahkan untuk budak, dinar yang kamu sedekahkan pada orang miskin, dinar yang kamu nafkahkan pada isterimu maka yang terbesar pahalanya adalah yang kamu nafkahkan pada isterumu." (HR. Muslim)

2. Wajib bagi yang mampu nikah dan khawatir zina atau maksiat jika tidak menikah. Sebab menghindari yang haram adalah wajib, jika yang haram tidak dapat dihindari kecuali dengan nikah maka nikah adalah wajib (QS. al Hujurat:6). Ini bagi kaum laki-laki, adapun bagi perempuan maka ia wajib nikah jika tidak dapat membiayai hidupnya (dan anak-anaknya) dan menjadi incaran orang-orang yang rusak, sedangkan kehormatan dan perlindungannya hanya ada pada nikah, maka nikah baginya adalah wajib.

3. Mubah bagi yang mampu dan aman dari fitnah, tetapi tidak membutuhkannya atau tidak memiliki syahwat sama sekali seperti orang yang impotent atau lanjut usia, atau yang tidak mampu menafkahi, sedangkan wanitanya rela dengan syarat wanita tersebut harus rasyidah (berakal).

Juga mubah bagi yang mampu menikah dengan tujuan hanya sekedar untuk memenuhi hajatnya atau bersenang-senang, tanpa ada niat ingin keturunan atau melindungi diri dari yang haram.

4. Haram nikah bagi orang yang tidak mampu menikah (nafkah lahir batin) dan ia tidak takut terjatuh dalam zina atau maksiat lainnya, atau jika yakin bahwa dengan menikah ia akan jatuh dalam hal-hal yang diharamkan. Juga haram nikah di darul harb (wilayah tempur) tanpa adanya faktor darurat, jika ia menjadi tawanan maka tidak diperbolehkan nikah sama sekali.

Haram berpoligami bagi yang menyangka dirinya tidak bisa adil sedangkan isteri pertama telah mencukupinya.

5. Makruh menikah jika tidak mampu karena dapat menzhalimi isteri, atau tidak minat terhadap wanita dan tidak mengharapkan keturunan.. Juga makruh jika nikah dapat menghalangi dari ibadah-ibadah sunnah yang lebih baik. Makruh berpoligami jika dikhawatirkan akan kehilangan maslahat yang lebih besar.


 


 

Sumber: http://abuzubair.wordpress.com/2007/09/01/hikmah-dan-hukum-nikah/

Wednesday 3 February 2010

Monday 1 February 2010

Profile Kepala KUA Kec. Panyabungan



A. Identitas

Nama : H. Ahmad Zainul Khobir, S. Ag
NIP : 19710101 199803 1 003
Pangkat/Gol. Ruang: Penata, III/c
TTL : Panyabungan Tonga, 1 Januari 1971
Alamat : Jln. Kol. H. M. Nurdin Panyabungan Tonga

B. Riwayat Pendidikan
1. SDN No. 142620 Kotanopan Tamat 1984
2. MTs Subulussalam Sayurmaincat Kotanopan Tamat 1987
3. MAS Subulussalam Sayurmaincat Kotanopan Tamat 1990
4. IAIN Sumatera Utara Fakultas Syari'ah Tamat 1996
5. Pasca Sarjana UISU Program Magister Management

C. Riwayat Pekerjaan
1. CPNS 1998 Pegawai KUA Kec. Kotanopan
2. Bendaharawan PNBP tahun 1998
3. Wakil PPN KUA Kec. Kotanopan tahun 2000
4. Kepala KUA Kec. Siabu tahun 2003
5. Kepala KUA Kec. Panyabungan tahun 2005

Sunday 17 January 2010

Apakah Filsafat Shalat itu?

Ayat 45 surat Al-‘Ankabut membahas filsafat agung shalat. Ayat itu berbunyi, “Sesungguhnya shalat itu mencegah [manusia] dari perbuatan yang keji dan mungkar.”

Pada dasarnya, hakikat shalat adalah mengajak manusia untuk mengetahui faktor pencegah paling kuat (dalam diri manusia). yaitu keyakinan terhadap wujud Allah (permulaan) dan Hari kebangkitan (ma’âd) yang berpengaruh kuat dalam mencegah manusia dari melakukan perbuatan yang keji dan mungkar.

Seseorang yang berdiri untuk melakukan shalat dan mengucapkan takbir, mengakui bahwa Allah swt.; Dzat yang Lebih Baik dan Lebih Tinggi dari segala yang ada dan akan mengingat semua kenikmatan yang telah diberikan oleh-Nya. Dengan mengucapkan pujian dan syukur, ia memohon curahan kasih dan sayang-Nya, mengingat hari pembalasan, mengakui ketundukan, melakukan penyembahan kepada-Nya, memohon pertolongan-Nya, meminta petunjuk dari-Nya untuk mendapatkan jalan yang lurus, dan memohon perlindungan sehingga tidak termasuk ke dalam golongan orang-orang yang telah dimurkai oleh-Nya serta tidak termasuk ke dalam golongan orang-orang yang tersesat. (Kandungan dari surat Al-Fatihah).

Tanpa syak lagi, manusia yang mempunyai kalbu demikian akan memahami bahwa setiap langkah perjalanannya akan mengarah kepada sesuatu yang hak dan benar, gerakannya akan menuju kepada kesucian dan kesempurnaan, dan lompatannya akan melesat ke arah ketakwaan

Manusia semacam ini, ketika melakukan shalat dengan membungkukkan badannya untuk ruku’, laksana seorang hamba dan meletakkan dahi di atas permukaan tanah di haribaan suci-Nya untuk mengakui kebesaran dan kemuliaan-Nya dan tenggelam dalam keagungan-Nya, serta menghapus segala ego dan kesombongan yang ada pada dirinya.

Lalu ia pun akan mengucapkan syahadat untuk memberikan kesaksian atas keesaan-Nya dan risalah Rasul-Nya.

Setelah itu, ia mengirimkan shalawat kepada utusan-Nya yang mulia, Rasulallah saw. dan menengadahkan kedua tangannya di bawah mihrab sucinya-Nya untuk memohon belas kasih supaya dimasukkan ke dalam golongan hamba-hamba-Nya yang salih.

Semua faktor ini akan memunculkan semangat spiritual dalam dirinya; sebuah gelombang besar yang mampu melebur dan meluluhlantakkan setiap dosa yang menumpuk di hadapannya.

Amal semacam ini terulang beberapa kali dalam sehari semalam. Bahkan, ketika ia terbangun dari tidurnya di pagi hari yang masih gulita pun, ia telah tenggelam dalam kenikmatan mengingat-Nya.

Di pertengahan hari, ketika ia telah disibukkan oleh kehidupan materi, tiba-tiba suara takbir muazin akan menghentakkan dan menyadarkannya untuk menghentikan sejenak apa yang sedang dikerjakannya, kemudian bergegas mempersiapkan diri menghadap ke pelukan Sang Kekasih. Bahkan pada akhir hari dan permulaan malam sebelum menuju ke tempat istirahatnya pun, ia masih menyempatkan diri untuk mencurahkan seluruh isi hatinya, mengadu, menangis, meratap, berkeluh kesah kepada Sang Pemilik Hati dan menciptakan hatinya sebagai pusat cahaya-Nya.

Setelah itu dan untuk selanjutnya, pada saat menyambut kedatangan shalat, terlebih dahulu ia akan memulainya dengan mencuci dan menyucikan diri, menjauhi segala hal yang haram dan menghindarkan diri dari kemarahan, kemudian bergegas mendatangi tempat Sang Kekasih yang penuh dengan persahabatan. Demikianlah, seluruh faktor ini mempunyai efek dalam mencegah diri ketika berhadapan dengan hal-hal yang keji dan mungkar.

Hanya saja, efek shalat itu sesuai dengan terpenuhinya syarat-syarat kesempurnaan dan ruh ibadah dalam mencegah diri dari perbuatan keji dan mungkar, yang terkadang hal ini dapat membentuk sebuah sistem kontrol pada segala kondisi, terkadang pula pada kondisi-kondisi tertentu dan terbatas.

Adalah mustahil terjadi jika seseorang yang telah melakukan shalat tidak mendapatkan sedikitpun efek dari apa yang telah ia lakukan, betapapun shalat yang dilakukannya hanya bersifat formalitas saja dan betapapun orang yang melakukan shalat adalah orang yang bergelimang dengan dosa. Tentu saja pengaruh dari shalat yang dilakukan oleh orang-orang semacam ini tidak akan pernah mendapatkan hasil yang maksimal. Namun, bila mereka meninggalkan shalat, sudah pasti akan semakin hanyut dan bergelimang dalam perbuatan-perbuatan dosa.

Lebih jelas kami tekankan bahwa pencegahan shalat dari perbuatan keji dan mungkar memiliki derajat dan tingkatan yang berbeda-beda. Dan setiap shalat apabila diukur dengan perhatian terhadap syarat-syarat yang dimilikinya, akan mampu menduduki sebagian dari derajat-derajat tersebut.

Di dalam salah satu hadis, dinukil bahwa pada masa Rasulullah saw., terdapat seorang pria muda dari kaum Anshar yang senantiasa mengikuti shalat yang dilakukan oleh Rasul saw. Tetapi, pada sisi lain ia masih senantiasa bergelimang dalam berbagai maksiat. Lalu, hal ini disampaikan kepada Rasul saw. Setelah mendengar laporan ini beliau bersabda, “Suatu hari nanti shalatnya dapat mencegahnya dari perbuatan-perbuatannya tersebut.”

Sedemikian pentingnya pengaruh shalat, hingga pada sebagian riwayat Islam disebutkan bahwa bias yang akan muncul dari pelaksanaan shalat akan menjadi tolok ukur apakah shalat yang dilakukan oleh seseorang telah diterima di sisi-Nya ataukah belum. Imam Ash-Shadiq a.s. dalam salah satu hadis berkata, “Seseorang yang ingin melihat apakah shalatnya telah diterima oleh Allah swt atau belum, hendaklah ia melihat apakah shalat yang telah dilakukannya ini dapat mencegahnya dari perbuatan yang keji dan mungkar atau tidak? Sejauh mana ia telah tercegah dari hal-hal tersebut, sekadar itu pulalah shalat yang dilakukannya telah dikabulkan di sisi-Nya”.

Kelanjutan ayat di atas menegaskan,”Dan sesungguhnya mengingat Allah itu adalah lebih besar [keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain].”

dzahir ungkapan ini menjelaskan sisi lain dari filsafat shalat. Bahkan, ia mempunyai kedudukan lebih tinggi dan lebih penting dari mencegah perbuatan keji dan mungkar itu sendiri. Efek tersebut adalah, bahwa dengan melakukan shalat, manusia dituntun untuk senantiasa mengingat Allah swt. Hal ini merupakan akar dari segala kebaikan dan kebahagiaan. Bahkan, dapat diakui bahwa unsur utama dari pencegah perbuatan keji dan mungkar adalah mengingat Allah (dzikrullah). Keutamaan mengingat Allah dikarenakan dzikir merupakan sebab dari pencegahan tersebut.

Pada prinsipnya, mengingat Allah swt. merupakan inti detak kehidupan kalbu manusia dan puncak ketenangan hati. Tidak ada sesuatu pun selainnya yang bisa mencapai tingkatan semacam ini.

Di dalam surat Ar-Ra‘d [13], ayat 28 ditegaskan, “Ketahuilah bahwa dengan mengingat Allah hati menjadi tentram.”

Pada dasarnya, ruh seluruh ibadah —baik ibadah shalat maupun selain shalat— adalah mengingat Allah swt. Berbagai bacaan, gerakan, mukaddimah, ta’qîb, doa, dan selainnya yang dilakukan dalam shalat, sebenarnya adalah untuk menghidupkan ruh zikir kepada Allah swt di dalam hati manusia.

Perlu diperhatikan bahwa di dalam ayat 14 surat Thaha telah diisyaratkan prinsip filsafat shalat. Kepada Nabi Musa a.s. Allah swt. berfirman, “Dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku.”

Dalam sebuah hadis diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ada sesuatu pun yang lebih baik dari amal manusia yang bisa menyelamatkan mereka dari azab Ilahi selain mengingat-Nya.” Lalu, Mu'adz bertanya kepada beliau, “Meskipun jihad di jalan Allah?” Beliau menjawab, “Iya! Karena Allah swt. berfirman, ‘Sesungguhnya mengingat Allah adalah lebih besar [keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain].’”

Efek Shalat dalam Mendidik Individu dan Masyarakat

Meskipun filsafat shalat bukanlah rahasi bagi seseorang, akan tetapi pemberian atensi yang besar terhadap teks ayat dan riwayat Islam akan menuntun kita pada berbagai pekerjaan yang lebih mengakar dalam masalah ini.

a. Hakikat, prinsip, tujuan, pondasi, mukaddimah, hasil, dan —pada akhirnya— filsafat shalat adalah mengingat Allah swt. yang pada ayat di atas ditegaskan, bahwa zikir memberikan hasil yang paling tinggi dibandingkan ibadah-ibadah yang lain.

Tentu saja yang dimaksud dengan zikir di sini adalah zikir sebagai mukaddimah berpikir, dan berpikir yang dilandasi oleh keinginan untuk mengaktualkannya. Imam Ash-Shadiq a.s. dalam salah satu hadis ketika menafsirkan ayat waladzikrullâh Akbar berkata, “(Zikir adalah mengingat Allah ketika hendak melakukan pekerjaan halal dan haram.” (Yaitu, mengingat Allah awt. ketika melakukan perbuatan yang halal dan menutup mata dari perbuatan yang haram).

b. Shalat merupakan media menyucikan diri dari dosa-dosa dan memohon pengampunan Ilahi, karena —mau tidak mau— shalat yang dilakukan oleh manusia akan mengajaknya untuk mengoreksi diri, memperbaiki diri, dan bertaubat atas apa yang telah dilakukan pada masa lalu. Oleh karena itu, dalam salah satu hadis kita membaca, Rasulallah saw. pernah bertanya kepada para sahabat, “Apabila di hadapan pintu rumah Kamu terdapat sebuah sungai yang mengalir dengan bening dan bersih, kamu mandi dan mencuci badannya lima kali dalam sehari semalam di dalam sungai itu, Apakah masih tersisa daki dan kotoran di badan Kamu?” Mereka menjawab, “Tidak ada, ya Rasulallah!” Lalu beliau melanjutkan,“Shalat sebagaimana halnya air mengalir itu. Setiap saat seseorang melakukan shalat, maka dosa-dosa yang dilakukannya di antara dua shalatnya akan terhapus dan menjadi bersih karenanya.”

Dan dengan shalat ini, luka, barutan, dan goresan dosa yang ada di dalam ruh dan jiwa manusia akan sembuh karena kemanjuran obat yang berbentuk shalat ini, dan karat-karat yang terdapat di dalam kalbunya pun akan menjadi bersih kembali dengan melakukan shalat.

c. Shalat merupakan tanggul penghalang dalam menghadapi serangan dosa-dosa yang akan datang, karena sesungguhnya shalat akan menguatkan iman di dalam kalbu manusia dan menumbuhkan tunas-tunas ketakwaan baru di dalam hatinya. Kita mengetahui bahwa “iman” dan “takwa” merupakan tanggul yang paling kuat untuk menahan goncangan dosa, dan ini merupakan maksud dalam ayat di atas bahwa shalat adalah pencegah dari perbuatan keji dan mungkar, dan merupakan maksud dari banyak hadis yang mengatakan bahwa terdapat sekelompok orang yang senantiasa melakukan dosa, lalu kondisi mereka itu diceritakan kepada para imam a.s. Mereka berkata, “Janganlah bersedih, karena shalat akan memperbaiki mereka”, dan ternyata memang demikian.

d. Shalat akan Menghancurkan Kelalaian

Musibah paling besar yang dialami oleh para pencari jalan kebenaran adalah lalai terhadap tujuan penciptaan dan tenggelam dalam kehidupan materi serta kelezatan-kelazatan duniawi yang hanya sekejap. Tetapi, dengan adanya variasi hukum dalam setiap jaraknya dan pelaksanaannya secara kontinyu yang dilakukan sebanyak lima kali dalam sehari semalam, shalat akan senantiasa membunyikan lonceng peringatan kepada manusia dan akan membangun ingatannya untuk senantiasa sadar terhadap tujuan penciptaan.

Dengan shalat, kehadiran-Nya di alam ini akan senantiasa diperdengarkan, dan merupakan suatu kenikmatan yang sangat besar bahwa manusia mempunyai sarana dan fasilitas yang berada dalam ikhtiyarnya, sehingga dengan alat yang dimilikinya ini ia selalu terjaga secara kuat beberapa kali dalam sehari semalan.

e. Shalat menghilangkan kesombongan dan 'ujub

Dengan shalat, kesombongan dan rasa kagum terhadap diri sendiri akan bisa terberangus dari diri manusia. Karena selama sehari semalam manusia melakukan tujuh belas rekaat shalat, di mana dalam setiap rekaatnya, ia meletakkan dahinya di atas tanah sebanyak dua kali dan merendahkan diri di hadapan-Nya. Ia menganggap dirinya hanyalah butiran yang begitu kecil yang tak berharga dibandingkan dengan keagungan-Nya, bahkan menganggap dirinya bukanlah apa-apa ketika berada di hadapan Dzat Yang Tak Terbatas.

Shalat akan menyibakkan tirai-tirai kesombongan dan egoisme manusia, serta memporak-porandakan kesombongan dan rasa puas pada diri sendiri.

Dengan dalil inilah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib a.s. dalam sebuah hadis terkenal yang merefleksikan filsafat ritual Islam setelah iman, dalam rangka menjelaskan ibadah shalat berkata, “Allah mewajibkan iman untuk membersihkan manusia dari syirik dan mewajibkan shalat untuk membersihkan diri dari kesombongan.”

f. Shalat sebagai penyempurnaan akhlak.

Shalat merupakan mediator kesempurnaan akhlak dan spiritualitas manusia, karena shalat akan mengeluarkannya dari dunia materi yang terbatas dan dari ruang lingkup empat sisi dinding alam natural, lalu mengajaknya melesat terbang ke langit malakut dan menyatukannya dengan barisan para malaikat. Setelah itu, ia akan melihat dirinya berada di hadapan -Nya tanpa membutuhkan sedikitpun mediator, dan ia pun akan melihat betapa dirinya telah mampu melakukan perjumpaan dengan Nya.

Pengulangan amal ini dalam sehari semalam yang dilakukan dengan menyandar pada sifat-sifat Allah yang Pengasih, Penyayang dan keagungan yang dimiliki-Nya, khususnya dengan bertawassul kepada surat-surat yang bervariasi dalam Al-Qur’an setelah selesai membaca Al-Fatihah, merupakan penggerak ke arah kebaikan dan kesucian yang paling utama. Dan hal ini mempunyai pengaruh yang tidak sia-sia dalam pembinaan keutamaan akhlak di dalam wujud manusia.

Oleh karena itu, dalam salah satu hadis mengenai filsafat shalat, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib a.s. berkata, “Shalat merupakan perantara untuk bertaqarrub dan mendekatkan diri kepada Allah bagi setiap orang yang bertakwa.”

g. Shalat mengisi nilai pada seluruh amal

Shalat memberikan nilai dan ruh pada keseluruhan amal yang dilakukan oleh manusia. Karena shalat akan menghidupkan hakikat keikhlasan, dimana shalat merupakan kumpulan dari niat yang murni dan perkataan yang suci, serta amal-amal yang dilaksanakan dengan penuh keikhlasan. Pengulangan amal-amal tersebut secara keseluruhan dalam sehari semalam akan menyebarkan bibit-bibit amal yang terpuji di dalam jiwa manusia dan akan menguatkan keikhlasan yang ada di dalam wujudnya.

Oleh karena itu, dalam salah satu hadis terkenalnya, Amirul Mukminin Ali bi Abi Thalib a.s. ketika berwasiat setelah terluka oleh hujaman pedang Ibnu Muljam (la’natullah ‘alaih) berkata, “Jagalah shalat! Karena sesungguhnya shalat merupakan tiang dari agamamu.”

Kita mengetahui bahwa apabila tiang yang dipergunakan untuk mendirikan kemah patah atau roboh, maka betapapun kuatnya tali dan paku-paku yang tertancap di sekitarnya tidak akan membawa pengaruh sedikitpun untuk tegaknya kembali kemah tersebut. Demikian juga halnya ketika tidak ada lagi komunikasi antara hamba dengan Tuhannya yang dimanifestasikan dalam bentuk shalat, maka amal yang lainnya pun akan menjadi kehilangan pengaruh.

Dalam sebuah hadis, Imam Ash-Shadiq a.s. berkata, “Masalah pertama yang akan dihisab oleh Allah dari hambaNya pada Hari Kiamat adalah shalat. Apabila shalatnya terkabul, akan terkabul pula seluruh amalnya yang lain dan apabila shalat ini tidak diterima, maka akan gagal pulalah seluruh amal-amal yang lain.”

Mungkin dalil ucapan beliau ini adalah, bahwa shalat merupakan rumus dan rahasia komunikasi antara makhluk dengan Khaliqnya. Apabila hal ini dilakukan dengan cara yang benar, maka niat taqarrub dan keikhlasan yang merupakan syarat terkabulnya keseluruhan amal akan bisa hidup dalam dirinya, dan apabila tidak, maka amal-amal yang lainnya akan menjadi kotor dan terpolusi sehingga akan menyebabkannya keluar dari derajat yang disyaratkan.

h. Shalat membawa kesucian hidup

Meskipun tanpa memperhatikan kandungan yang ada di dalam shalat, yaitu dengan memperhatikan validitasnya, pada hakikatnya ia mengajak manusia untuk hidup dalam kesucian. Hal ini dapat kita ketahui dari syarat tempat yang dipergunakan untuk melakukannya, pakaian yang dikenakan, alas dan air yang dituangkan untuk berwudhu serta mandi. Dan juga tempat yang dipergunakan oleh seseorang untuk mandi dan berwudhu harus merupakan tempat yang betul-betul tidak terkotori oleh ghasab dan tidak diperoleh dengan cara zalim dan melanggar hak-hak orang lain. Seseorang yang terkotori dengan kezaliman, ternodai oleh sifat-sifat kelewatan, riba, ghasab, mengurangi timbangan dalam transaksi, korupsi dan usaha-usaha yang dilakukan dengan menggunakan kekayaan yang haram, bagaimana ia bisa menyiapkan mukadimah shalat? Oleh karena itu, pengulangan shalat sebanyak lima kali dalam sehari semalam merupakan sebuah ajakan untuk menghormati hak-hak yang dimiliki oleh orang lain.


i. Shalat sebagai Pelindungan Diri dari Maksiat

Shalat selain harus mempunyai syarat keabsahan dan syarat keterkabulan, atau dengan kata lain, harus mempunyai syarat-syarat yang sempurna dalam dua hal tersebut, juga merupakan sebuah elemen yang efektif untuk meninggalkan begitu banyak perbuatan dosa.

Dalam kitab-kitab fiqih dan sumber hadis disebutkan begitu banyak faktor lain yang bisa menjadi referensi dari terkabulnya seatu shalat. Di antaranya, tentang meminum khamar (minuman keras) yang dalam sebuah riwayat ditegaskan, “Selama empat puluh hari, tidak akan diterima shalat seseorang yang meminum minuman keras, kecuali apabila ia bertaubat.”

Dalam banyak riwayat kita membaca, “Salah satu dari golongan yang shalatnya tidak akan dikabulkan oleh Allah adalah shalat yang dilakukan oleh kaum zalim dan penganiaya.”

Dalam sebagian riwayat lain telah ditegaskan bahwa shalat yang dilakukan oleh seseorang yang tidak membayar zakat tidak akan pernah terkabul. Demikian juga riwayat yang lain mengatakan bahwa memakan makanan haram, mengagumi diri sendiri, sombong, dan takabur merupakan salah satu penghalang bagi terkabulnya shalat. Dari sini bisa dipahami, sejauh manakah pengaruh konstruktif yang akan didapatkan seseorang dengan terpenuhinya syarat-syarat keterkabulan tersebut.


j. Shalat Penguat Semangat Disiplin

Shalat akan menguatkan semangat disiplin dalam diri manusia, karena bagaimanapun juga, shalat harus benar-benar dilakukan pada waktu yang telah ditentukan. Pelaksanaan shalat yang dilakukan dengan mengakhirkan atau mempercepat dari waktu yang seharusnya akan menyebabkan batalnya shalat yang dilakukan oleh seseorang. Demikian juga dengan aturan dan hukum-hukum lain dalam masalah niat, berdiri, ruku’, dan sujud. Memperhatikan semua ini akan menumbuhkan kedisiplinan dalam kehidupan sehari-hari menjadi betul-betul mudah dan lancar.

Semua poin di atas merupakan manfaat yang terdapat di dalam shalat dengan tanpa memperhatikan masalah shalat berjamaah. Namun bila keistimewaan shalat berjamaah ini kita tambahkan dalam diskursus di atas, di mana sebenarnya ruh dan hakikat shalat terletak pada shalat berjamaah, kita akan menemukan berkah yang tak terhitung banyaknya. Tetapi, pembahasan tentang shalat berjamaah bukan tempatnya untuk kami diskusikan di sini. Selain itu, sedikit banyak kita pun telah mengetahuinya.

kami menutup pembahasan tentang filsafat dan rahasia shalat dengan sebuah hadis yang telah dinukil dari Imam Ali bin Musa Ar-Ridha a.s.

Dalam menjawab surat yang menanyakan filsafat shalat, beliau berkata, “Tujuan disyariatkannya shalat adalah atensi dan pengakuan terhadap ketuhanan Allah swt, melawan syirik dan penyembahan berhala, berdiri di hadapan haribaan-Nya dalam puncak kekhusyukan dan kerendahan diri, mengakui dosa-dosa serta memohon pengampunan-Nya terhadap dosa-dosa yang telah dilakukannya, dan meletakkan dahi di seluruh hari untuk berkhidmat kepada-Nya.

Demikan juga, tujuan disyariatkannya shalat adalah supaya manusia senantiasa terjaga dan berpikir sehingga tidak ada lagi debu-debu kelalaian yang akan singgah di dalam hatinya, supaya manusia tidak sombong dan mabuk dengan dirinya, supaya manusia menjadi orang-orang yang khusyu’ dan tawadhu’, serta mencari dan mencintai bertambahnya pemberian segala sesuatu dalam agama dan dunianya.

Selain konsistensi zikir kepada Allah sepanjang hari dan malam yang dihasilkan dari sinar shalat, shalat akan membuat manusia tidak melupakan Pengatur dan Penciptanya, hingga jiwa liar dan tak terkendali tidak akan mampu mengalahkannya.

Dengan perhatiannya terhadap Allah swt. dan berdiri di haribaan suci-Nya, ia akan mencegah manusia dari perbuatan-perbuatan dosa dan akan menghindarkannya dari segala kerusakan.”

Saturday 16 January 2010

Hikmah Dibalik Pergantian Tahun

Hari demi hari berlalu. Demikian juga minggu, bulan, dan tahun. Kita, baik sebagai individu maupun masyarakat , dalam hari-hari yang berlalu itu, senantiasa mengisi lembaran-lembaran yang setiap tahun kita tutup untuk kemudian kita buka kembali dengan lembaran baru pada tahun berikutnya. Lembaran-lembaran itu adalah sejarah
hidup kita secara amat rinci, dan itulah kelak yang akan
disodorkan kepada kita - sebagai individu dan masyarakat - untuk dibaca dan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah pada Hari Kemudian nanti.

Bacalah lembaran (kitabmu), cukuplah engkau sendiri hari ini yang akan melakukan perhitungan atas dirimu (QS 17:14). Engkau akan melihat setiap umat berlutut, setiap umat diajak untuk membaca kitab amalan (sejarahnya) (QS 45:28).

Al Quran adalah buku pertama yang menegaskan bahwa bukan hanya individu, tetapi juga bangsa dan masyarakat, mempunyai hukum-hukum dan prinsip-prinsip yang mengarahkan dan menentukan keruntuhan dan kebangkitannya. Masyarakat terdiri dari individu-individu ,
dan manusia sebagai individu mempunyai potensi untukmengarahkan masyarakat dan diarahkan olehnya. Karena itu, manusia sebagai individu dan manusia sebagai kelompok masyarakat bertanggung jawab
atas dirinya dan atas masyarakatnya. Dari sinilah lahir apa yang dikenal dalam istilah hukum Islam sebagai fardhu ain dan fardhu kifayah.

Tuhan tidak mengubah keadaan suatu masyarakat , sebelum mereka mengubah (terlebih dahulu) sikap mental mereka (QS 13:11). Begitu bunyi sebuah ayat yang menafikan secara tegas ketentuan ekonomi sejarah dan secara tegas pula menempatkan sikap terdalam manusia
sebagi faktor penentu kelahiran sejarah. Dari sini dapat dipahami, mengapa para Nabi memulai langkah mereka dengan menanamkan kesadaran terdalam itu dalam jiwa umat. Darimana Anda Datang? Kemana Anda menuju? Bagaimana alam ini mewujud dan ke arah mana ia
bergerak? "Semua dari Allah dan akan kembali kepada-Nya" dan "Akhir dari segala siklus adalah kemablinya kepermulaan", demikian para sufi dan filosof Muslim merumuskan.

Itulah kesadaran pertama yang ditanamkan pada manusia. Kemudian disusul dengan kesadaran jenis kedua, yaitu kesadaran akan kemanusiaan manusia serta kehormatannya. Ruh Ilahi dan potensi berpengetahuan yang diperoleh makhluk ini dari Tuhan, mengundangnya untuk memanusiakan dirinya dengan jalan mengaktualkan pada dirinya sifat-sifat Ilahi sesuai dengan kemampuannya. Dan kesadaran ketiga yang ditanamkannya adalah kesadaran akan tanggung jawab sosial.

Mengapa kalian tidak berjuang di jalan Allah, sedangkan kaum lemah tertindas, baik lelaki, wanita, maupun anak-anak bermohon agar mereka dikaruniai penolong dan pelindung dari sisi Allah, demikian pesan Al Quran surah Al Nisa ayat 75.

Ayat diatas mengandung dua nilai keruhanian, yakni keniscayaan berjuang di jalan Allah dan tanggung jawab melindungi kaum lemah.

Perjuangan yang dilakukan karena Allah dan yang digerakkan oleh nilai-nilai suci itulah yang memajukan umat manusia dan peradabannya sekaligus mengukir sejarahnya dengan tinta emas.

Nah, kalau manusia atau masyarakat mampu mengisi hari-hari yang berlalu dalam hidupnya atas dasar kesadaran di atas, maka disanalah dia memperoleh kebahagiaan abadi. Dalam hal ini Al Quran menegaskan: Mereka itulah yang akan menerima lembaran sejarah
hidupnya dengan tangan kanannya (QS 17:71).

Quraish Shihab
dikutip dari buku "Lentera Hati": Kisah dan Hikmah Kehidupan", oleh M. Quraish Shihab, Penerbin Mizan, Maret 1995

ORANG-ORANG YANG DIDOAKAN OLEH PARA MALAIKAT

Inilah orang – orang yang didoakan oleh para malaikat :

1. Orang yang tidur dalam keadaan bersuci.
Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang tidur dalam keadaan suci, maka malaikat akan bersamanya di dalam pakaiannya. Dia tidak akan bangun hingga malaikat berdoa ‘Ya Allah, ampunilah hambamu si fulan karena tidur dalam keadaan suci”.
(Imam Ibnu Hibban meriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra., hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wat Tarhib I/37)

2. Orang yang sedang duduk menunggu waktu shalat.
Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah salah seorang diantara kalian yang duduk menunggu shalat, selama ia berada dalam keadaan suci, kecuali para malaikat akan mendoakannya ‘Ya Allah, ampunilah ia. Ya Allah sayangilah ia’”
(Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra., Shahih Muslim no. 469)

3. Orang – orang yang berada di shaf barisan depan di dalam shalat berjamaah.
Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada (orang – orang) yang berada pada shaf – shaf terdepan”
(Imam Abu Dawud (dan Ibnu Khuzaimah) dari Barra’ bin ‘Azib ra., hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud I/130)

4. Orang – orang yang menyambung shaf pada sholat berjamaah (tidak membiarkan sebuah kekosongan di dalam shaf).
Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah dan para malaikat selalu bershalawat kepada orang – orang yang menyambung shaf – shaf”
(Para Imam yaitu Ahmad, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan Al Hakim meriwayatkan dari Aisyah ra., hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wat Tarhib I/272)

5. Para malaikat mengucapkan ‘Amin’ ketika seorang Imam selesai membaca Al Fatihah.
Rasulullah SAW bersabda, “Jika seorang Imam membaca ‘ghairil maghdhuubi ‘alaihim waladh dhaalinn’, maka ucapkanlah oleh kalian ‘aamiin’, karena barangsiapa ucapannya itu bertepatan dengan ucapan malaikat, maka ia akan diampuni dosanya yang masa lalu”.
(Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah ra., Shahih Bukhari no. 782)

6. Orang yang duduk di tempat shalatnya setelah melakukan shalat.
Rasulullah SAW bersabda, “Para malaikat akan selalu bershalawat kepada salah satu diantara kalian selama ia ada di dalam tempat shalat dimana ia melakukan shalat, selama ia belum batal wudhunya, (para malaikat) berkata, ‘Ya Allah ampunilah dan sayangilah ia”
(Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah, Al Musnad no. 8106, Syaikh Ahmad Syakir menshahihkan hadits ini)

7. Orang – orang yang melakukan shalat shubuh dan ‘ashar secara berjama’ah.
Rasulullah SAW bersabda, “Para malaikat berkumpul pada saat shalat shubuh lalu para malaikat ( yang menyertai hamba) pada malam hari (yang sudah bertugas malam hari hingga shubuh) naik (ke langit), dan malaikat pada siang hari tetap tinggal. Kemudian mereka berkumpul lagi pada waktu shalat ‘ashar dan malaikat yang ditugaskan pada siang hari (hingga shalat ‘ashar) naik (ke langit) sedangkan malaikat yang bertugas pada malam hari tetap tinggal, lalu Allah bertanya kepada mereka, ‘Bagaimana kalian meninggalkan hambaku?’, mereka menjawab, ‘Kami datang sedangkan mereka sedang melakukan shalat dan kami tinggalkan mereka sedangkan mereka sedang melakukan shalat, maka ampunilah mereka pada hari kiamat’”
(Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah ra., Al Musnad no. 9140, hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir)

8. Orang yang mendoakan saudaranya tanpa sepengetahuan orang yang didoakan.
Rasulullah SAW bersabda, “Doa seorang muslim untuk saudaranya yang dilakukan tanpa sepengetahuan orang yang didoakannya adalah doa yang akan dikabulkan. Pada kepalanya ada seorang malaikat yang menjadi wakil baginya, setiap kali dia berdoa untuk saudaranya dengan sebuah kebaikan, maka malaikat tersebut berkata ‘aamiin dan engkaupun mendapatkan apa yang ia dapatkan’”
(Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ummud Darda’ ra., Shahih Muslim no. 2733)

9. Orang – orang yang berinfak.
Rasulullah SAW bersabda, “Tidak satu hari pun dimana pagi harinya seorang hamba ada padanya kecuali 2 malaikat turun kepadanya, salah satu diantara keduanya berkata, ‘Ya Allah, berikanlah ganti bagi orang yang berinfak’. Dan lainnya berkata, ‘Ya Allah, hancurkanlah harta orang yang pelit’”
(Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra., Shahih Bukhari no. 1442 dan Shahih Muslim no. 1010)

10. Orang yang sedang makan sahur.
Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada orang – orang yang sedang makan sahur”
(Imam Ibnu Hibban dan Imam Ath Thabrani, meriwayaatkan dari Abdullah bin Umar ra., hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhiib wat Tarhiib I/519)

11. Orang yang sedang menjenguk orang sakit.
Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah seorang mukmin menjenguk saudaranya kecuali Allah akan mengutus 70.000 malaikat untuknya yang akan bershalawat kepadanya di waktu siang kapan saja hingga sore dan di waktu malam kapan saja hingga shubuh”
(Imam Ahmad meriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib ra., Al Musnad no. 754, Syaikh Ahmad Syakir berkomentar, “Sanadnya shahih”)

12. Seseorang yang sedang mengajarkan kebaikan kepada orang lain.
Rasulullah SAW bersabda, “Keutamaan seorang alim atas seorang ahli ibadah bagaikan keutamaanku atas seorang yang paling rendah diantara kalian. Sesungguhnya penghuni langit dan bumi, bahkan semut yang di dalam lubangnya dan bahkan ikan, semuanya bershalawat kepada orang yang mengajarkan kebaikan kepada orang lain”
(Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dari Abu Umamah Al Bahily ra., dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Kitab Shahih At Tirmidzi II/343)

Sumber Tulisan Oleh : Syaikh Dr. Fadhl Ilahi (Orang – orang yang Didoakan Malaikat, Pustaka Ibnu Katsir, Bogor, Cetakan Pertama, Februari 2005

Nikah Jarak Jauh

Assalamu''alaikum wr, wb...

Puji syukur kehadirat Alloh SWT, semoga rahmat dan hidayah Nya selalu tercurahkan kepada kita...

Pak ustadyangdirahmati Alloh SWT, ada beberapa halyangingin sy tanyakan, di antaranya:

1. Apakah ada hadist ataupun fiqihyangmenjelaskan tentang pernikahan jarak jauh(calon pasangan suami isteri tidak bertemu), contoh: calon isteri di indonesia& calon suami di luar negri

2. Bagaimana dengan hukum pernikahanyangtidak dihadiri oleh orang tua dari kedua mempelai, karena banyak terjadi dikalangan anak muda sekarangyangmengikuti trend menikah di luar negri tanpa menghadirkan orang tua mereka

Sementara demikianyangingin sy tanyakan semoga jawaban pak ustad dpt menjadi referensi berharga untuk saya, trimakasih.

Jazakumulloh..... Wassalamualaikum wr. Wb


jawaban
Assalamu ''alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Tidak ada masalah untuk melakukan nikah jarak jauh, di mana pengantin laki dan pengantin perempuan tidak saling bertemu. Sama sekali tidk ada masalah. Mengapa tidak ada masalah?

Karena akad nikah atau ijab kabul dalam syariah Islam memang tidak terjadi antara pengantin laki dan pengantin perempuan. Ijab kabul terjadi antara pengantin laki dengan ayah kandung/ wali dari pengantin perempuan.

Maka cukuplah si pengantin laki dan calon mertuanya itu saja yang mengucapkan ijab kabul. Asalkan ijab kabul itu disaksikan oleh dua orang laki-laki muslim yang sudah aqil baligh, akad itu sudah sah.

Taukil

Lebih jauh lagi, dalam syariah Islam juga dikenal taukil, yaitu mewakilkan kewenangan untuk melakukan suatu akad kepada orang lain. Akad yang bisa diwakilkan ini bukan hanya akad nikah, tetapi juga termasuk akad jual beli.

Jadi seperti akad jual beli yang boleh diwakilkan kepada orang lain, maka akad nikah pun buleh diwakilkan. Kedua belah pihak boleh mewakilkan wewenangnya kepada orang lain.

Calon suami boleh meminta temannya atau siapa pun untuk bertindak atas nama dirinya dalam melakukan ijab kabul. Demikian juga hal yang sama berlaku buat wali, dia boleh meminta orang lain untuk bertindak atas nama dirinya untuk melakukan ijab qabul.

Kalau dua-duanya mewakilkan ijab qabul kepada orang lain, maka kejadiannya betul-betul luar biasa. Karena tak satu pun dari para pihak yang datang duduk di majelis akad nikah. Tapi hukum akad nikahnya tetap sah. Sebab masih ada dua saksi yang akan berfungsi sebagai ''supervisor'', di mana mereka berdua memastikan bahwa perwakilan dari masing-masing pihak adalah sah.

Nikah Tanpa Izin Orang Tua

Buat seorang wanita, tidak ada nikah tanpa wali. Dan wali adalah ayah kandungnya yang sah. Hanya di tangan ayah kandung sajalah seorang wanita boleh dinikahkan.

Seandainya si ayah kandung tidak mampu menghadiri akad nikah anak gadisnya, maka dia boleh mewakilkan dirinya kepada orang lain yang dipercayainya.

Namun hak untuk menjadi wali tidak boleh ''dirampas'' begitu saja dari tangan ayah kandung. Bila sampai perampasan itu terjadi, lalu wali gadungan itu menikahkan anak gadis itu, maka akad nikah itu tidak sah. Kalau mereka melakukan hubungan suami isteri, hukumnya zina.

Petugas Pencatat Nikah

Yang lebih menarik, justru kehadiran petugas pencatat nikah yang biasanya memimpin ijab qabul, sama sekali tidak masuk dalam urusan sah atau tidaknya pernikahan.

Meski tugas itu didapat dari pemerintah secara resmi, namun tanpa kehadirannya akad nikah bisa tetap berlangsung.

Sementara anggapan sebagian masyarakat kita, petugas KUA ini seolah menjadi tokoh inti dari sebuah ijab qabul. Padahal tugas hanya sekedar mencatat secara administratif saja. Hadir atau tidak hadir, tidak ada urusan dengan sahnya sebuah akad nikah.

Namun demikian, demi tertibnya administrasi negara, sebaiknya petugas ini dihadirkan juga, akan akad nikah itu secara resmi juga tercatat dengan baik di pemerintahan.

Wallahu ''alam bishshawab, wassalamu ''alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

sumber: http://www.ustsarwat.com

Wali Nikah Beda Agama

Salamullah'alaikum warahmatuhu wabarokatuh

Pak ustadz, saya mau nanya siapakah yang menjadi wali nikah bila calon wanita yang kita nikahi beragama Nasrani apakah orang tuanya atau bisa diwakilkan dan apakah harus bersahadat dalam ijab kabul sedangkan kita nikah beda agama. Terima kasih atas jawabannya.

Wassalamualaikum wr. wb.

Mawardi


Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Keharusan wali nikah beragama Islam adalah hal yang mutlak dan menjadi syarat sah yang harus dimiliki oleh seorang wali. Perlu diketahui bahwa syarat seorang wali itu ada 6 hal:

1. Muslim
2. Berakal (tidak gila)
3. Baligh
4. Adil
5. Merdeka (tidak berstatus budak)
6. Laki-laki

Bila salah satu syarat dari keenam syarat itu tidak terpenuhi, maka seseorang tidak berhak untuk menjadi wali atas sebuah akad nikah.

Khusus dalam syarat ke-Islaman, ada pengecualian tersendiri dalam kasus khusus. Yaitu apabila wanita yang dinikahkan itu bukan beragama Islam,melainkan seorang wanita pemeluk agama ahli kitab (Nasrani atau Yahudi), maka tidak perlu walinya seorang muslim juga.

Titik masalahnya adalah karena seorang muslim atau atau muslimah tidak boleh diwalikan oleh non muslim. Namun bila pengantin wanita belum lagi menjadi muslimah, maka tidak ada masalah dengan agama sang wali, boleh saja walinya itu juga bukan muslim.

Jadi keharusan wali beragama Islam lantaran karena dia menjadi wali buat seseorang yang beragama Islam. Di dalam hukum Islam, seorang yang bukan muslim tidak berhak dan juga tidak sah menjadi wali bagi seorang muslim. Namun bila yang diwalikan bukan muslim, maka tidak ada masalah.

Dan sebagaimana sudah dibahas berkali-kali di sini tentang pendapat jumhur ulama yang membolehkan wanita ahli kitab dinikahi oleh laki-laki muslim, bila ayah kandung wanita tersebut juga bukan muslim, sudah bisa dijadikan wali dan sah apabila menjadi wali baginya. Sebab wanita itu bukan wanita muslimah.

Untuk lebih jelasnya, silahkan rujuk ke dalam kitab fiqih yang muktamad, salah satunya yang mudah, silahkan buka kitab Kifayatul Akhyar pada bab wali nikah dan syarat keIslamannya.

Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Ahmad Sarwat, Lc.
Sumber : www.eramuslim.com

Hukum Pernikahan Dalam Islam

Para ulama ketika membahas hukum pernikahan, menemukan bahwa ternyata menikah itu terkadang bisa mejadi sunnah (mandub), terkadang bisa menjadi wajib atau terkadang juga bisa menjadi sekedar mubah saja. Bahkan dalam kondisi tertentu bisa menjadi makruh. Dan ada juga hukum pernikahan yang haram untuk dilakukan.
Semua akan sangat tergantung dari kondisi dan situasi seseorang dan permasalahannya. Apa dan bagaimana hal itu bisa terjadi, mari kita bedah satu persatu.

1. Pernikahan Yang Wajib Hukumnya
Menikah itu wjib hukumnya bagi seorang yang sudah mampu secara finansial dan juga sangat beresiko jatuh ke dalam perzinaan. Hal itu disebabkan bahwa menjaga diri dari zina adalah wajib. Maka bila jalan keluarnya hanyalah dengan cara menikah, tentu saja menikah bagi seseorang yang hampir jatuh ke dalam jurang zina wajib hukumnya.
Imam Al-qurtubi berkata bahwa para ulama tidak berbeda pendapat tentang wajibnya seorang untuk menikah bila dia adalah orang yang mampu dan takut tertimpa resiko zina pada dirinya. Dan bila dia tidak mampu, maka Allah SWT pasti akan membuatnya cukup dalam masalah rezekinya, sebagaimana firman-Nya :
Dan Yang menciptakan semua yang berpasang-pasangan dan menjadikan untukmu kapal dan binatang ternak yang kamu tunggangi.(QS.An-Nur : 33)
2. Pernikahan Yang Sunnah Hukumnya
Sedangkan yang tidak sampai diwajibkan untuk menikah adalah mereka yang sudah mampu namun masih tidak merasa takut jatuh kepada zina. Barangkali karena memang usianya yang masih muda atau pun lingkungannya yang cukup baik dan kondusif.
Orang yang punya kondisi seperti ini hanyalah disunnahkan untuk menikah, namun tidak sampai wajib. Sebab masih ada jarak tertentu yang menghalanginya untuk bisa jatuh ke dalam zina yang diharamkan Allah SWT.
Bila dia menikah, tentu dia akan mendapatkan keutamaan yang lebih dibandingkan dengan dia diam tidak menikahi wanita. Paling tidak, dia telah melaksanakan anjuran Rasulullah SAW untuk memperbanyak jumlah kuantitas umat Islam.
Dari Abi Umamah bahwa Rasulullah SAW bersabda,\”Menikahlah, karena aku berlomba dengan umat lain dalam jumlah umat. Dan janganlah kalian menjadi seperti para rahib nasrani. (HR. Al-Baihaqi 7/78)
Bahkan Ibnu Abbas ra pernah berkomentar tentang orang yang tidak mau menikah sebab orang yang tidak sempurna ibadahnya.
3. Pernikahan Yang Haram Hukumnya
Secara normal, ada dua hal utama yang membuat seseorang menjadi haram untuk menikah. Pertama, tidak mampu memberi nafkah. Kedua, tidak mampu melakukan hubungan seksual. Kecuali bila dia telah berterus terang sebelumnya dan calon istrinya itu mengetahui dan menerima keadaannya.
Selain itu juga bila dalam dirinya ada cacat pisik lainnya yang secara umum tidak akan diterima oleh pasangannya. Maka untuk bisa menjadi halal dan dibolehkan menikah, haruslah sejak awal dia berterus terang atas kondisinya itu dan harus ada persetujuan dari calon pasangannya.
Seperti orang yang terkena penyakit menular dimana bila dia menikah dengan seseorng akan beresiko menulari pasangannya itu dengan penyakit. Maka hukumnya haram baginya untuk menikah kecuali pasangannya itu tahu kondisinya dan siap menerima resikonya.
Selain dua hal di atas, masih ada lagi sebab-sebab tertentu yang mengharamkan untuk menikah. Misalnya wanita muslimah yang menikah dengan laki-laki yang berlainan agama atau atheis. Juga menikahi wanita pezina dan pelacur. Termasuk menikahi wanita yang haram dinikahi (mahram), wanita yang punya suami, wanita yang berada dalam masa iddah.
Ada juga pernikahan yang haram dari sisi lain lagi seperti pernikahan yang tidak memenuhi syarat dan rukun. Seperti menikah tanpa wali atau tanpa saksi. Atau menikah dengan niat untuk mentalak, sehingga menjadi nikah untuk sementara waktu yang kita kenal dengan nikah kontrak.
4. Pernikahan Yang Makruh Hukumnya
Orang yang tidak punya penghasilan sama sekali dan tidak sempurna kemampuan untuk berhubungan seksual, hukumnya makruh bila menikah. Namun bila calon istrinya rela dan punya harta yang bisa mencukupi hidup mereka, maka masih dibolehkan bagi mereka untuk menikah meski dengan karahiyah.
Sebab idealnya bukan wanita yang menanggung beban dan nafkah suami, melainkan menjadi tanggung jawab pihak suami.
Maka pernikahan itu makruh hukumnya sebab berdampak dharar bagi pihak wanita. Apalagi bila kondisi demikian berpengaruh kepada ketaatan dan ketundukan istri kepada suami, maka tingkat kemakruhannya menjadi jauh lebih besar.
5. Pernikahan Yang Mubah Hukumnya
Orang yang berada pada posisi tengah-tengah antara hal-hal yang mendorong keharusannya untuk menikah dengan hal-hal yang mencegahnya untuk menikah, maka bagi hukum menikah itu menjadi mubah atau boleh. Tidak dianjurkan untuk segera menikah namun juga tidak ada larangan atau anjuran untuk mengakhirkannya.
Pada kondisi tengah-tengah seperti ini, maka hukum nikah baginya adalah mubah.
Sumber: Kuliah Syariah Online

5 syarat untuk taubat

Setiap manusia tentunya pernah berbuat kesalahan dan tidak lepas darinya. Entah itu kepada orang tuanya, sahabatnya, tetangganya, dosennya, gurunya ataupun orang-orang yang lainnya. Bentuk kesalahan merekapun bermacam-macam entah itu menggunjingnya, menyontek, durhaka, mencela, memukulnya, mencubitnya, mencuri sampai menjatuhkan harga dirinya. Di saat manusia berbuat kesalahan, mereka ada yang menyesal kemudian langsung bertaubat kepada Alloh, ada juga yang mereka tidak menyesal sehingga terhalang untuk bertaubat kepada Alloh kemudian mereka terus-menerus berbuat kesalahan dan bertumpuklah dosanya. Sebaik-baik manusia adalah yang segera bertaubat ketika melakukan kesalahan bahkan Rosululloh Shallallahu’ Alaihi Wa Sallam bertaubat kepada Alloh seratus kali dalam sehari. Anda bisa bayangkan !! Seorang Nabi yang telah di janjikan Alloh untuk terjaga dari dosa-dosa baik dosa masa lalu ataupun dosa masa datang masih senantiasa bertaubat kepada Alloh sebanyak seratus kali sehari?? Subhanalloh. Kemudian bagaimana dengan kita ?? Semoga kita termasuk golongan orang yang senantiasa bertaubat kepadaNya.

Setiap manusia tentunya pernah berbuat kesalahan dan tidak lepas darinya. Entah itu kepada orang tuanya, sahabatnya, tetangganya, dosennya, gurunya ataupun orang-orang yang lainnya. Bentuk kesalahan merekapun bermacam-macam entah itu menggunjingnya, menyontek, durhaka, mencela, memukulnya, mencubitnya, mencuri sampai menjatuhkan harga dirinya. Di saat manusia berbuat kesalahan, mereka ada yang menyesal kemudian langsung bertaubat kepada Alloh, ada juga yang mereka tidak menyesal sehingga terhalang untuk bertaubat kepada Alloh kemudian mereka terus-menerus berbuat kesalahan dan bertumpuklah dosanya. Sebaik-baik manusia adalah yang segera bertaubat ketika melakukan kesalahan bahkan Rosululloh Shallallahu’ Alaihi Wa Sallam bertaubat kepada Alloh seratus kali dalam sehari. Anda bisa bayangkan !! Seorang Nabi yang telah di janjikan Alloh untuk terjaga dari dosa-dosa baik dosa masa lalu ataupun dosa masa datang masih senantiasa bertaubat kepada Alloh sebanyak seratus kali sehari?? Subhanalloh. Kemudian bagaimana dengan kita ?? Semoga kita termasuk golongan orang yang senantiasa bertaubat kepadaNya.

Dalam permasalahan taubat ini Beliau Shallallahu’ Alaihi Wa Sallam telah mewasiatkan kepada kita dalam 3 hadist yang menakjubkan:

1. Dari Abu Burdah dari Al Aghor Al Muzani berkata bahwa Rosululloh Shallallahu’ Alaihi Wa Sallam telah bersabda “Sungguh keburukan itu telah membuat hatiku merasa gundah. Sesungguhnya aku meminta ampun kepada Alloh seratus kali dalam sehari” (HR. Muslim).

2. Dari Abu Hurairoh bahwa Rosululloh Shalallahu’ Alaihi Wa Sallam bersabda “Siapa saja yang bertaubat sebelum matahari terbit dari arah barat tenggelamnya, niscaya Alloh akan menerima taubatnya” (HR. Muslim).

3. Beliau juga bersabda “Setiap anak adam sering berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah yang orang yang bertaubat” (Hadist Shahih Riwayat Tirmidzi, Ahmad, Ibnu Majah dan ad Darimi).

Para ulama mengatakan bahwa bertaubat dari segala macam dosa hukumnya wajib. Dan sesuatu yang telah dinamakan wajib harus dikerjakan dan tidak boleh di tinggalkan. Sebuah taubat di katakan sah jika memiliki 5 syarat. Sama halnya ketika anda berusaha masuk di kampus ini, andapun harus mempunyai beberapa syarat bahkan banyak syarat agar anda bisa di katakan di terima untuk menuntut ilmu di kampus ini. Begitu juga dengan taubat, taubatpun memilikinya. Diantaranya:

1. Ikhlas karena Alloh

Anda bertaubat tentunya harus mempunyai tujuan yang agung yaitu agar Alloh memaafkan dosa-dosa anda baik yang kecil maupun yang besar, baik yang di sengaja ataupun yang tidak disengaja. Kemudian agar Alloh mengganjar anda dengan pahala yang banyak dengan perbuatan taubat anda. Intinya, anda bertaubat atas dasar untuk mencari keridhoan Alloh.

2. Menyesali perbuatan

Perasaan menyesal anda karena sesuatu menunjukkan bahwa anda benar-benar ingin meninggalkan sesuatu tsb. Semisal anda mengatakan “Saya menyesal sekali berbuat demikian karena akibatnya justru menyedihkan demikian dan demikian” atau “saya menyesal sekali pinjam CD di rental fulan, ternyata banyak CD yang rusak sehingga saya di rugikan. Saya kapok” atau “Saya menyesal menyontek kemaren yang ternyata justru malah membuat saya semakin bodoh” atau kalimat-kalimat penyesalan lainnya yang bisa mengantarkan seseorang untuk meninggalkan perbuatan yang telah di sesalinya. Intinya penyesalan bisa mengantarkan anda kepada taubat sedangkan tanpa merasa menyesal anda akan kesulitan untuk bertaubat.

3. Melepaskan diri dari perbuatan tsb

Syarat ketiga ini merupakan inti dari taubat maksudnya anda benar-benar melepaskan diri dari perbuatan buruk tsb karena seseorang tidak dikatakan bertaubat jika dia masih melakukan perbuatan yang telah dia taubati. Ini sungguh tidak masuk akal. Contohnya, anda mengatakan kepada teman anda “saya tidak akan mengganggumu lagi” tetapi ternyata dalam hati, anda masih mempunyai niatan untuk mengganggunya lagi. Maka apa yang anda lakukan ini adalah ejekan atau permainan kepada teman anda, dll. Kemudian dalam point ketiga ini ada rinciannya:

a. Jika dosa itu berupa meninggalkan kewajiban. Maka untuk terhindar dari dosa tsb anda harus melaksanakan kewajiban tsb.

Contohnya, anda sering meninggalkan sholat kemudian anda bertaubat. Maka yang harus anda lakukan adalah anda tidak lagi meninggalkan sholat, anda sering marah-marah dengan orang tua anda atau bisa di katakan anda kurang berbakti kepada mereka. Maka yang harus anda lakukan adalah anda segera berbakti kepada mereka, dll.

b. Jika dosa itu berupa perbuatan tipu daya atau kebohongan. Maka untuk terhindar darinya anda harus meninggalkan perbuatan tsb.

Contohnya, anda mempunyai kebiasaan menyontek ketika ujian dan kita sepakat ini adalah perbuatan buruk dan dosa. Maka untuk lepas dari dosa menyontek anda harus segera meninggalkannya. Kemudian contoh lain, anda mendapati bahwa teman anda telah mendapatkan uang dari jalan yang haram yaitu dia mencuri barang berharga dari teman anda yang juga sekelas. Lalu teman anda yang mencuri ini ingin bertaubat. Maka anda bisa menasehatkan kepadanya untuk mengembalikan harta yang di curinya, meminta maaf dan segera meninggalkan perbuatan mencuri tsb, dll.

4. Anda bertekad untuk tidak mengulanginya lagi di masa datang

Jika suatu saat anda berniat ingin mengulanginya lagi bila ada kesempatan, maka taubat anda tidak di terima atau bisa di katakan anda hanya main-main dengan taubat anda. Contohnya, suatu hari anda bertaubat dari menyontek kemudian anda mempunyai niatan lagi untuk melakukannya di masa mendatang. Maka taubat anda tidak di terima karena anda tidak bersungguh-sungguh dalam melakukannya bahkan anda ingin melakukannya lagi. Taubat jenis ini adalah taubatnya orang yang lemah. Maksudnya orang yang lemah imannya. Semoga kami dan anda terhindar darinya. Dalam point ini intinya adalah tiada niatan untuk bermaksiat kembali.

5. Anda bertaubat di saat di terimanya waktu-waktu taubat. Maksudnya???...

Jadi waktu taubat itu terbagi menjadi 2 dan perinciannya :

a. Taubat harus di lakukan sebelum ajal tiba atau sebelum nyawa anda berada di kerongkongan.

Jika seseorang bertaubat di saat ajal tiba maka taubatnya tidak ada gunanya dan tidak ada manfaat baginya. Taubat ini di lakukan karena terpaksa sehingga tidak mendatangkan kemanfaatan dan tidak terima. Silahkan baca dalilnya dalam surat An Nisa’ ayat 18 dan surat Ghaafir ayat 84 dan 85.

Contohnya, ada seseorang gemar menyontek bahkan di semua ujian dia melakukannya. kemudian suatu saat dia menderita penyakit yang sangat parah sehingga mengharuskannya untuk di rawat di Rumah Sakit. Lantas dia sekarat dan hendak bertaubat dari menyontek kemudian dia mengatakan “Saya bertaubat dari menyontek sekarang”. Berdasarkan Surat An Nisa’ ayat 18 maka taubatnya tidak di terima dan dia meninggal dalam keadaan membawa dosa menyontek. Dan di hari kiamat kelak hanya ada 2 pilihan baginya : Alloh akan mengampuni dosa menyonteknya atau Alloh akan menyiksanya di neraka karena dosa menyonteknya. Semoga kami dan anda terhindar darinya.

b. Saat-saat taubat secara umum

Maksudnya, sebelum matahari terbit dari barat dan jika anda bertaubat. Maka taubat anda di terima (Insya Alloh) asalkan anda memenuhi syarat yang 4 lainnya. Contohnya, hari inipun anda bisa segera taubat dari dosa-dosa anda karena hari ini (Alhamdulillaah) matahari belum terbit dari barat atau jika hari esok matahari masih terbit dari timur itu artinya pintu taubat masih terbuka lebar bagi anda. Maka segeralah bertaubat. Bahkan jika anda menginginkan, anda bisa sholat sunnah dengan niatan sholat sunnah taubat. Dalilnya adalah hadist shohih riwayat Tirmidzi dan dalam hadist tsb terdapat surat al Imron ayat 135. Silahkan di baca !

Friday 15 January 2010

Pernikahan Paksa: Perspektif Fiqh dan Kekerasan Terhadap Anak

Kekerasan terhadap anak semakin marak terjadi. Tidak sedikit
pemberitaan-pemberitaan di media tentang prilaku kekerasan dengan
korbannya seorang anak. Motif dan modusnya bisa beraneka ragam. Baik
berupa kekerasan fisik maupun mental-psikis. Ironisnya pelaku
kekerasan terhadap anak ini biasanya adalah orang terdekat baik itu
saudara, teman, tetanga bahkan orang tua sendiri. Biasanya mereka
berdalih atas dasar kasih sayang akan tetapi berujung penderitaan sang
anak. Tidak terkecuali diantaranya merampas kebebabasan hak anak untuk
memilih pasangan hidup anaknya sendiri.

Kasus penjodohan paksa merupakan bentuk kekerasan terhadap anak.
Karena efeknya dapat lebih parah ketimbang kekerasan fisik. Walaupun
terkadang, kawin paksa berakhir dengan kebahagiaan dalam rumah tangga,
tetapi tidak sedikit yang berakibat pada ketidakharmonisan bahkan
perceraian. Itu semua akibat ikatan perkawinan yang tidak dilandasi
cinta kasih, namun berangkat dari keterpaksaan semata.

Nikah paksa bahkan dalam perkembangannya menjadi trend baru bentuk
eksploitasi anak. Motif eksploitasi dapat dilihat dari beberapa modus
operandi, antara lain, eksploitasi anak dalam kejahatan human
trafficking (perdagangan orang). Biasanya anak perempuan yang usianya
masih belia dipaksa untuk menikah dengan orang asing, untuk kemudian
dibawa pergi ke luar negeri. Cara seperti ini biasa dikenal dengan
pengantin pesanan. Kasus ‘pengantin pesanan’ ini marak terjadi di kota
Singkawang, Kalimantan Barat.

Kasus semisal ini seringkali terjadi karena beberapa alasan, pertama,
orang tua yang merasa memiliki anaknya sehingga berhak memaksa
menikahkan dengan siapapun. Kedua, rendahnya pengertian orang tua
terhadap kemungkinan marabahaya yang bisa menimpa buah hatinya
sendiri. Ketiga, alasan ekonomi. Alasan ini menjadi faktor dominan
dalam beberapa kasus yang terjadi di beberapa daerah. Orang tua
mengambil keutungan financial dengan menikahkan anaknya secara paksa
dengan orang asing. Bahkan di daerah tertentu, memiliki anak perempuan
merupakan aset tersendiri, karena dapat menghasilkan keuntungan
ekonomi. Alasan-alasan di atas menjadi sangat kuat ketika dihubungkan
dengan budaya juga teks Agama. Dalam fiqih misalnya, ada aturan yang
mengatakan bahwa seorang perempuan itu boleh dinikahkan secara paksa
oleh orang tuanya.

Pandangan Fiqh dan UU

Mengenai kawin paksa (ijbar), sebenar-nya sudah menjadi polemik klasik
dalam khazanah Islam. Para ahli fiqh berbeda menyikapinya. Sebut saja,
Syafi’i, Malik, Ahmad, Ishaq dan Abi Laila, mereka menetapkan hak
ijbar berdasarkan sebuah hadits. Nabi Muhammad saw. bersabada:

“Janda, tidak boleh dinikahi sampai diminta persetujuannya. Anak
perawan tidak boleh dinikahi sampai diminta izinnya. Mereka bertanya;
“bagaimana izinnya? Jawab rasul; anak gadis itu diam” (HR.
Bukhari-Muslim).

Kelompok ini memandang yang harus dimintai izin adalah janda, bukan
gadis. Karena hadits ini membedakan antara janda dan gadis.
Berdasarkan sebuah hadits riwayat Muslim bahwa janda lebih berhak
terhadap dirinya sendiri ketimbang walinya (ahaqqu binafsiha min
waliyyiha). Dengan demikian, ia harus dimintai persetujuan. (Ibnu
Hajar al-‘Asqalani, Fathul Bari Syarh Shahih al-Bukhari, Beirut, Dar
al-Fikr, tt., juz 9, hlm. 191)

Imam Syafi’i menilai meminta persetujuan seorang gadis bukan perintah
wajib (amru ikhtiyarin la fardlin). Karena dalam hadits ini janda dan
gadis dibedakan. Sehinga pernikahan gadis yang dipaksakan tanpa
izinnya sah-sah saja. Sebab jika sang ayah tidak dapat menikahkan
tanpa izin si gadis, maka seakan-akan gadis tidak ada bedanya dengan
janda. Padahal jelas sekali hadits ini membedakan janda dan gadis.
Janda harus menegaskan secara jelas dalam memberikan izin. Sementara,
seorang gadis cukup de-ngan diam saja. Oleh karena itu, janda tidak
sama dengan gadis.
Namun, Syafi’i dan ulama’ yang lain, menetapkan hak ijbar bagi seorang
wali atas dasar kasih sayangnya yang begitu dalam terhadap putrinya.
Karenanya, Syafi’i hanya memberikan hak ijbar kepada ayah semata.
Walau dalam perkembangan selanjutnya, Ashab (sahabat-sahabat) Syafi’i
memodifikasi konsep ini dengan memberikan hak ijbar juga pada kakek
(Muhammad Idris al-Syafi’i, Al-Um, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut
Libanon, juz 3, hlm. 18.)

Seorang ayah dipersonifikasikan seba-gai sosok yang begitu peduli pada
kebahagiaan anak gadisnya. Karena sang gadis belum berpengalaman hidup
berumah tangga, di samping biasanya ia pun malu untuk mencari pasangan
sendiri, para ulama’ mencoba memberi sarana bagi ayah untuk membantu
buah hatinya itu.

Oleh karenanya, kalangan Syafi’iyah membuat rambu-rambu berlapis bagi
kebolehan hak ijbar. Antara lain, pertama, harus tidak ada kebencian
yang nyata antara anak dan ayah. Ijbar harus dilakukan dengan dasar
pemberian wawasan, pilihan-pilihan, kemungkinan-kemungkinan, dan
alternatif yang lebih baik bagi anak. Kedua, ayah harus menikahkan si
gadis dengan lelaki yang serasi (kufu’). Ketiga, calon suami harus
mampu memberi maskawin sepantasnya (mahar mitsl). Keempat, harus tidak
ada kebencian dzahir batin antara calon isteri dengan calon suami.
Kelima, si gadis tidak dikhawatirkan dengan orang yang akan membuatnya
sengsara setelah berumah tangga (Syamsuddin Muhamad Ahmad al-Khatib,
Al-Iqna’, Mesir, Musthafa al-Babi, 1359, juz 2, hlm. 128).

Di sisi lain, firqah ulama’ seperti, Auza’i, Tsauri, Abu Tsaur dan
kalangan Hanafiyah lebih memilih tidak mengakui hak ijbar. Mereka
menggunakan pijakan argumentasi hadits yang juga digunakan kelompok
pembela ijbar. Menurut mereka, lafadz tusta’dzanu mengandung arti
bahwa idzin adalah merupakan keharusan (amrun dlaruriyun) dari anak
perawan yang hendak dinikahkan. Oleh sebab itu, pernikahan yang
dilakukan tanpa kerelaan si gadis, hukumnya tidak sah. Dari kalangan
muta’akhirin, ulama’ yang berpendapat senada adalah Yusuf al-Qardlawi
dan Dr. Ahmad al-Rabashi. Keduanya mengatakan, bahwa si gadislah yang
nanti akan menghadapi pernikahan, sehingga kerelaannya harus
betul-betul diperhitungkan.

Kesimpulan ini di dukung oleh sebuah hadits, “Seorang gadis datang
mengadu kepada Nabi saw., “sesungguhnya ayahku menikahkanku dengan
sepupuku agar harga dirinya terangkat”. Lalu Nabi menyerahkan
persoalan ini kepada si gadis. Kemudian kata gadis itu; Aku
(sebenarnya) menyetujui apa yang ayahku lakukan. Tetapi, yang penting
dari pengaduanku ini, aku ingin para perempuan tahu bahwa para ayah
tidak berhak memaksakan kehendaknya” (HR. Ibnu Majah).

Melihat syarat-syarat ini, sesungguhnya penerapan hak ijbar tidak bisa
dilakukan serampangan. Dan kalau memang konsisten dengan ketentuan
fiqh, bisa dipastikan hampir tidak ada pemaksaan bagi perempuan untuk
menikah baik itu janda maupun gadis.

Dalam Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23 tahun 2002 pasal 26
tentang kewajian dan tanggung jawab orang tua telah ditegaskan bahwa,
“Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk: a) mengasuh,
memelihara, mendidik, dan melindungi anak; b) menumbuhkembangkan anak
sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; dan c) mencegah
terjadinya perkawinan pada usia anak-anak”.

Pasal ini jelas mengamanatkan, orang tua wajib mencegah terjadinya
perkawinan pada usia anak-anak, apalagi dalam konteks pernikahan yang
dipaksakan. Semoga hal ini menjadi kesadaran bagi setiap orang tua
untuk memberi kesempatan kepada sang anak dalam berproses menggali
pengalaman dan wawasan. Wallahua’lam.[]

Penulis adalah alumni PP. Ma’had Aly Situbondo, dan redaktur Pelaksana
Warkah al-Basyar dan Website Fahmina-intitute Cirebon Jawa Barat